Legenda Batu Wangi: Hembusan Napas Sang Raja

Legenda Batu Wangi: Hembusan Napas Sang Raja
Legenda Batu Wangi: Hembusan Napas Sang Raja

Di suatu masa, sebelum jarum jam pertama kali berdenting dan sebelum mesin-mesin menggantikan derap kuda, berdirilah sebuah kerajaan di antara kabut pegunungan. Kerajaan Batu Wangi, demikian orang-orang menyebutnya, sebuah negeri kecil yang harum namanya seperti embun yang jatuh di pagi hari. Dipimpin oleh seorang raja dengan nama panjang, Marjyahiang Bayu Prabu Pahayu Kinasihan, putra dari Sunan Batu Wangi, namanya sendiri seperti mantra yang terukir di batu-batu purba.

Dari Pamegatan Pacing hingga Pamegatan Cikajang, kerajaan itu terbentang. Negeri yang tak terlalu besar, namun tanahnya subur, airnya jernih, dan rakyatnya tak mengenal kelaparan. Padi tumbuh menguning, tambang-tambang emas berkilauan, dan kehidupan mengalir tenang seperti sungai yang tak pernah kering. Orang-orang bekerja dengan tangan mereka sendiri, mencangkul, menambang, berdagang—semua dalam harmoni yang telah berlangsung berabad-abad.

Namun, sebagaimana kehidupan yang tak pernah hanya berupa ketenangan, datanglah angin dari kejauhan membawa sebuah tantangan. Seorang pendekar sakti, yang lama bertapa di puncak gunung, mendengar nama sang raja berbisik dalam mimpinya. Raja Batu Wangi, katanya, bukan hanya bijak, tapi juga sakti. Pendekar itu, yang ilmunya tinggi setinggi awan, merasa bahwa ia harus menguji takdir. Maka, dengan langkah ringan seperti bayangan, ia turun dari gunungnya, bukan untuk bertamu, melainkan untuk menantang.

Tanpa salam, tanpa kata-kata, hanya dengan satu lemparan tangan, ia melepaskan sebuah batu sebesar gunung ke angkasa, mengarah tepat ke istana. Langit yang tadinya cerah mendadak gelap, seakan matahari ditelan oleh batu yang melayang. Rakyat berlarian, berteriak, memanggil-manggil nama rajanya. Beberapa bergegas ke istana, menyampaikan kabar bahwa kehancuran tengah melayang di atas mereka.

Raja Batu Wangi keluar, tanpa tergesa, seperti subuh yang perlahan datang menggantikan malam. Ia mendongak, melihat batu yang mengancam istananya, lalu tersenyum. Tak ada pedang yang ia hunus, tak ada mantra yang ia lantunkan panjang-panjang. Ia hanya memejamkan mata, melafalkan doa yang hanya dipahami oleh langit dan bumi, lalu meniupkan napasnya ke udara.

Batu sebesar gunung itu berhenti, sejenak menggantung di antara langit dan tanah, lalu pecah berkeping-keping seperti embun yang jatuh dan lenyap di pagi hari. Tak ada yang terluka, tak ada yang hancur, kecuali keyakinan sang pendekar bahwa tak ada yang lebih sakti darinya.

Maka, kisah ini pun menyebar. Dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, menjadi legenda yang tak lekang oleh waktu. Sebab, dalam sejarah yang ditulis oleh angin, Raja Batu Wangi bukan sekadar penguasa. Ia adalah hembusan napas yang mengubah segalanya.

Previous Post Next Post

Categorised Posts

نموذج الاتصال