Pada masa ketika tanah Pasundan masih ditenun dengan mantra dan doa, berdirilah Kerajaan Batu Wangi, sebuah kerajaan yang subur, makmur, rahayu. Rajanya, Marjyahiang Bayu Prabu Pahayu Kinasihan bin Guru Gantangan, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Batu Wangi, bukan sekadar pemimpin, tetapi seorang petapa yang berbicara dengan angin, membaca rahasia dalam desir air sungai, dan meniupkan mantra yang membelah langit.
Sunan Batu Wangi bukanlah sosok biasa. Kesaktiannya merentang seperti bayangan panjang di senja hari, menyentuh daratan dari Singajaya hingga Cikajang. Ketika seorang pendekar sakti dari gua terpencil hendak menguji kesaktiannya, mengirim batu sebesar gunung ke arah istana, Sunan hanya perlu meniup, dan batu itu hancur menjadi debu yang beterbangan di angkasa. Sejak itu, tak ada yang berani menantang Kerajaan Batu Wangi.
Namun, sejarah selalu menyembunyikan tragedinya dalam bayangan. Sunan Batu Wangi memiliki pusaka sakti, Guntur Bumi, pisau panjang dengan gagang garuda bertatahkan berlian, dicuci setiap bulan Mulud dengan doa-doa yang menggetarkan cakrawala. Namun, kekuasaan tak hanya terletak pada benda bertuah, melainkan juga pada darah yang mengalir dalam tubuh keturunannya.
Putri sang Sunan, Nyimas Kentring Manik, adalah perempuan yang kecantikannya seperti bulan purnama dalam air yang jernih. Kabar tentangnya menembus batas angin, menyentuh telinga para raja dan pendekar di seantero tanah Jawa. Sayembara demi sayembara digelar, perang demi perang meletus untuk memperebutkan hatinya, tapi sang raja menolak tunduk pada perebutan yang hanya akan meninggalkan luka.
Dalam semedinya di puncak gunung, Sunan Batu Wangi mendapat petunjuk. Akan datang seorang pria dari tanah Galuh, seorang yang kelak menjadi takdir bagi putrinya. Namun, petunjuk itu membawa gelisah, sebab di baliknya tersembunyi bayang-bayang malapetaka yang tak bisa ia uraikan.
Dua saudara dari Galuh, Rangga Wulung dan Rangga Dipa, datang ke Batu Wangi atas perintah ayahanda mereka, dengan alasan belajar ilmu bercocok tanam. Namun, semesta memiliki rencana yang lebih besar. Saat Nyimas Kentring Manik pulang dari semedinya yang tertunda oleh sakit, ia bertemu dengan dua saudara itu. Pandangan pertama dengan Rangga Wulung adalah takdir yang berbicara tanpa suara. Sang raja melihatnya, dan hatinya dihantui pertanda buruk.
Hari demi hari, Nyimas dan Rangga Wulung semakin dekat. Sang raja, yang telah membaca tanda-tanda dari semestinya, hanya bisa diam dalam ketidakberdayaan. Hingga akhirnya, lamaran datang dari tanah Galuh. Dengan berat hati, dengan doa dan harapan yang diselimuti ketakutan, Sunan Batu Wangi menerima pernikahan mereka.
Dan di malam yang tenang setelah pesta pernikahan, di atas meja makan yang dipenuhi hidangan kerajaan, takdir menancapkan belatinya. Saat Nyimas Kentring Manik mengangkat kepala ayam ke mulutnya, tetesan minyak menciprat ke dadanya. Rangga Dipa, yang selama ini diam di balik bayang-bayang kakaknya, spontan menghapus noda itu dengan bajunya. Tak ada niat, hanya refleks seorang saudara.
Namun, cinta dan cemburu adalah dua mata pedang yang tajam di kedua sisinya. Rangga Wulung, dalam sekejap yang lebih cepat dari detak jantung terakhir, mencabut kerisnya. Dalam sekejap yang bahkan tak sempat dijelaskan oleh waktu, senjata itu telah menembus dada adiknya sendiri. Rangga Dipa terjatuh. Darahnya membasahi lantai istana. Seisi ruangan tercekam dalam keheningan yang lebih pekat dari malam itu sendiri.
Sunan Batu Wangi berdiri, tatapannya bukan lagi tatapan seorang raja, melainkan seorang ayah yang melihat kehancuran yang tak bisa dicegah. Dengan suara yang menggema di dinding istana, ia bersumpah: "Gara-gara kepala ayam, darah telah tertumpah. Maka keturunan Batu Wangi, mulai hari ini, tak boleh lagi menyentuhnya."
Sejak saat itu, mitos pun hidup. Di setiap meja makan keturunan Batu Wangi, kepala ayam tak pernah lagi hadir. Ia menjadi bayangan dari sejarah yang tak dapat dihapus, mengalir dalam darah mereka, mengendap dalam ingatan, melintasi zaman seperti angin yang terus berbisik di tanah Pasundan.