SEPUTAR QURBAN
Majelis Tarjih & Tabligh
Arti diksi
kata:
Kata “qurban”
berasal dari qaruba-yaqrubu-qurbanan yang
berarti hampir, dekat, atau mendekati. Dalam bahasa Arab kata qurban disebut udh-hiyyah. Kata udh-hiyyah
merupakan bentuk jama’ dari kata dhahiyah yang berarti binatang
sembelihan, disebut juga nahr (ibadah qurban).
Dalam
proses penyembelihan seringkali digunakan diksi dzabaha dan nahar. Tentu keduanya memiliki makna
dan maksud tertentu yaitu: dzabaha penyembeliahan dengan merubohkan
binatang sembelihan ditempat yang jauh dari tempat antrian berikutnya.
Misalnya, sapi, domba dan kambing, diupayakan dirobohkan
terlebih dahulu. Sedangkan nahar teknis penyembelihan tanpa dirobohkan,
seperti unta dan yang sejenis dengan unta.
As-Sayyid Sabiq dalam
kitab Fiqh as-Sunnah, Jilid III, hal 197. mengatakan bahwa:
“Al-Udh-hiyyah
adalah nama bagi binatang yang disembelih
baik unta, sapi dan kambing pada hari
Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyriq
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT”.
Dr.
Wahbah az-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh,
Juz III, hal 594 menjelaskan tentang al-Udh-hiyah bermakna
sebagai berikut;
al-Udhhiyah menurut bahasa adalah nama bagi hewan yang
diqurbankan atau nama bagi hewan yang
disembelih pada hari-hari ‘Idul Adha. Dengan
demikian al-Udh-hiyah adalah hewan yang
disembelih pada hari Adha. Disebut adh-ha
karena waktu selesainya shalat id biasanya bersamaan dengan waktu dhuha, maka
dari itu disunnahkan menyegerakan pelaksanaan shalat idul adh-ha, dan tidak
duthur (makan) sebelumnya. tentu hal ini berbeda dengan Idul Fitri yang
dianjurkan untuk sarapan terlebih dahulu.
Menurut
MTT PPM qurban adalah udh-hiyyah,
yaitu sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhailiy.
“Dia (qurban) adalah menyembelih hewan tertentu dengan niat
mendekatkan diri (kepada Allah) dalam waktu
tertentu pula atau hewan yang disembelih
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT pada hari-hari Nahar”.(10,
11,12 &13 Dzulhijjah)
Dasar
Hukum Berqurban
Ibadah qurban
merupakan ibadah yang disyariatkan berdasarkan
dalil-dalil al-Qur’an dan hadits Nabi SAW;
diantaranya yaitu:
Dari
al-Qur’an misalnya:
1.
Surat al-Kautsar (108): 1-2 sebagai
berikut;
إِنَّآ أَعۡطَيۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ
-١- فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ -٢
Sesungguhnya Kami (Allah) telah
memberikan engkau (Muhammad) ni’mat yang banyak, maka
shalatlah kamu karena Tuhanmu dan sembelihlah (kurbanmu).
(Q.S. Al-Kautsar:1-2)
2.
Surat al-Hajj (22): 36
وَٱلۡبُدۡنَ جَعَلۡنَٰهَا لَكُم مِّن
شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمۡ فِيهَا خَيۡرٞۖ فَٱذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَا
صَوَآفَّۖ فَإِذَا وَجَبَتۡ جُنُوبُهَا فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ
ٱلۡقَانِعَ وَٱلۡمُعۡتَرَّۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرۡنَٰهَا لَكُمۡ لَعَلَّكُمۡ
تَشۡكُرُونَ
Dan telah
Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu
sebagian daripada syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang
banyak daripadanya, maka sebutlah olehmu nama Allah
ketika kamu menyembelih dalam keadaan
berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya
dan beri makanlah orang-orang yang tidak
minta-minta dan orang-orang yang minta-minta. Demikianlah
Kami menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu
bersyukur.
(QS.Al-Hajj;22:36)
Sedangkan
dari riwayat hadits yaitu;
3.
Hadis Nabi SAW dari Jabir:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى
فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ
اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
dari Jabir
Rahu, ia berkata: Aku ikut bersama Rasulullah SAW shalat ‘Idul
Adlha bersama Rasulullah SAW, kemudian
setelah selesai, kepada beliau diberikan seekor
kibasy (kambing yang besar) lalu beliau
menyembelihnya seraya berdoa: Bismillahi wallahu akbar, Allahumma hadza
‘anniy wa ‘an man lam yudhahhi min
ummati (Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Wahai
Allah, ini dariku dan dari orang yang tidak berqurban dari umatku). [HR.
Ahmad
14895, Abu Dawud 2810,
dan At-Tirmidzi 1521].
Para ulama
berbeda pendapat tentang hukum qurban, ada
yang mengatakan wajib dan ada pula yang berpendapat sunnah. Terlepas dari
adanya perbedaan pendapat mengenai hukum melakukan
qurban, tetapi yang jelas bahwa ibadah qurban itu diperintahkan
oleh Allah SWT, seperti dalam Surat al-Kautsar (108):
ayat 1-2, termaktub di atas.
Sesungguhnya Kami
telah memberikan kepadamu ni’mat yang
banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu
dab beribadahlah. (QS. al-Kautsar: 1-2)
Perbedaan tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut;
Abu Hanifah,
al-Auza’iy, dan Malik berpendapat bahwa
qurban hukumnya wajib. Adapun dalil yang dijadikan dasar adalah
QS al-Kautsar (108):
2; Maka shalatlah kamu karena Tuhanmu dan sembelihlah (kurbanmu).
(QS. al-Kautsar: 2)
Hadits Ahmad dari Abu
Hurairah:
dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari shahabat Zaid bin Arqam
disebutkan:
قُلْتُ أَوْ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا هَذِهِ اْلأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ
إِبْرَاهِيمَ قَالُوا مَا لَنَا مِنْهَا قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ.
“Aku atau mereka bertanya: Hai
Rasulullah, apakah kurban itu? Nabi SAW menjawab: Itulah suatu sunnah
ayahmu Ibrahim. Mereka bertanya (lagi): Apakah yang kita peroleh dari kurban
itu? Rasulullah SAW menjawab: Di tiap-tiap bulu kita mendapat
suatu kebajikan.”
Sementara
dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ وَجَدَ
سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.
Dari Abi Hurarah
Ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda ”Barangsiapa yang
memiliki keleluasan harta dan tidak
menyembelih hewan qurban, maka janganlah
mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ibnu
Majah 2123 dan Ahmad 8273).
Muhammad
Ibn Ismail al-Kahlany dalam kitab Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram
menjelaskan bahwa hadits di atas dijadikan
dasar oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa qurban hukumnya wajib
bagi orang yang mampu. Secara lengkap beliau mengatakan sebagai berikut;
Ulama telah
berdalil dengan hadits ini untuk
menentukan hukum wajib berqurban bagi yang
mampu, karena Rasulullah SAW melarang untuk
mendekati tempat shalatnya menunjukkan bahwa
dia (yang tidak berqurban padahal ia mampu)
meninggalkan kewajiban, seakan-akan Rasulullah SAW.
bersabda: Tidaklah shalat yang dilakukan
berfaedah, karena meninggalkan kewajiban ini (berqurban), karena
firman Allah: “maka shalatlah karena Tuhan kamu dan berqurbanlah”
dan hadis Nabi SAW.
“Wajib bagi penghuni rumah berqurban dalam setiaptahun”.
Catatan MTT-PPM:
hadits di atas sesungguhnya adalah hadits yang daif,
karena keberadaan seorang perawi yang bernama
Abdullah ibn Ayyash yang munkarul hadits dan lemah hafalan. Namun, Imam al-Baihaqi meriwayatkan
hadis diatas dengan sanad lain yang
bernilai sahih, yaitu sanad yang tidak
terdapat Abdullah ibn Ayyash di dalamnya.
Namun, sayangnya riwayat al-Baihaqi tersebut mauquf, yaitu hanya sampai kepada Abu Hurairah.
Imam as-Syafi’i, Malik dan Ahmad
berpendapat bahwa hukum qurban adalah Sunnah Muakkadah. Pendapat
mereka didasarkan pada dalil hadits Nabi SAW dari Ummu Salamah;
Apabila telah
masuk hari kesepuluh (bulan Dzulhijjah),
dan salah seorang darimu ingin berkurban, maka ia tidak memotong
rambut dan kukunya (HR Muslim 1977)
Hikmah
Berqurban
Hikmah disyariatkannya
berqurban antara lain;
1. Sebagai
ungkapan syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan ni’mat yang banyak kepada kita.
2. Bagi
orang yang beriman kepada Allah SWT, dapat
mengambil pelajaran dari keluarga nabi Ibrahim AS, yaitu;
a. Kesabaran Nabi
Ibrahim dan putranya Ismail As.
ketika keduanya menjalankan perintah Allah SWT; dan
b. Mengutamakan ketaatan kepada Allah SWT dan
mencintai-Nya dari mencintai dirinya dan anaknya.
3. Sebagai realisasi ketaqwaan seseorang
kepada Allah SWT
4. Membangun
kesadaran tentang kepedulian terhadap sesama,
terutama terhadap orang miskin. Sebagaimana firman
Allah SWT di atas tadi yang berbunyi:
Beri makanlah orang
yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu
kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur (QS.
al-Hajj:
36).
Hikmah
lain dari pensyari’atan qurban yaitu:
Sembelihan kurban Idul Adha dan
hari-hari tasyrik dibagikan kepada golongan yang tidak mampu. Dengan demikian,
mereka juga dapat berbahagia pada Hari Raya Idul Adha. Bagi orang-orang yang
mampu, ibadah kurban merupakan bentuk rasa syukur atas keberlimpahan yang
dianugerahkan Allah SWT kepada mereka. Allah SWT menjanjikan bahwa orang yang
bersyukur akan ditambah rezekinya sehingga harta benda mereka menjadi berkah di
sisi Allah SWT.