Kajian Lanjutan: Hukum Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Makmum Laki-Laki (2-habis)

Kajian Lanjutan: Hukum Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Makmum Laki-Laki (2-habis)



Sebelumnya

Wajhu al-dilâlah:

Hadits  diatas menunjukkan bahwa perempuan boleh menjadi imam shalat meski terdapat makmum laki-laki.[20] Ummi Waraqah mempunyai seorang tukang azan, yaitu seorang lelaki tua sebagaimana disebut dalam riwayat itu. Dalam riwayat sebelumnya disebutkan bahwa makmumnya adalah seorang budak perempuan dan budak laki-laki (ghulâm).

1.      Dalil maqûl:

·         Mengenai persoalan ikhtilâth, bukanlah alasan utama dalam masalah larangan imam perempuan. Bisa saja [jika imamnya perempuan] shalat tetep berjalan seperti biasa sebagaimana dalam shalat berjamaah di mana ada makmum laki-laki dan perempuan, namun tetap tidak berbaur (ikhtilât), yakni dengan menukar posisi makmum. Semua perempuan (baik makmum dan imamnya) menduduki tempat laki-laki. Dengan kata lain. Mereka berada dalam saf terdepan. Sementara laki-laki dalam saf belakang. Hanya saja, antara saf laki-laki dan perempuan diberi pembatas (tabir). Atau bisa juga, tabir diletakkan antara imam dan makmum laki-laki, sementara shaf makmum perempuan tetap berada di belakang.

·         Kekhawatiran mengenai terjadinya fitnah dapat ditepis, karena fitnah tidak bisa diduga, tidak mengenal tempat dan waktu, bisa terjadi kapanpun dan dimanapun

·         Alasan para ulama di antaranya adalah dalil suara perempuan itu aurat. Tetapi menurut Ibnu Hazm,[21] “Dua orang muslim sekalipun tidak berbeda pendapat bahwa orang-orang masa itu mendengarkan perkataan istri-istri Nabi SAW., boleh bagi para laki-laki dan juga tidak ada nas yang melarang hal itu pada seluruh perempuan. Dan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm, Kami tidak menemukan dalil (sahih) yang menunjukkan bahwa suara perempuan itu aurat sebagaimana yang disebutkan para fuqaha.” Di antara ulama kontemporer yang menolak suara perempuan sebagai aurat adalah shaikh Muhammad al-Ghazali.[22]

·     Terkait persoalan aurat perempuan dalam shalat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa apabila seorang shalat sementara auratnya terbuka, maka shalatnya batal. Tetapi pendapat ini dibantah oleh al-Syaukani. Menurutnya, shalatnya tidak batal, sedangkan menutup aurat adalah kewajiban yang lain lagi.[23] Melihat alasan yang keempat ini maka laki-laki jadi makmum perempuan bisa saja sah, sedang persoalan lain yang dilarang sesungguhnya masuk dalam larangan tersendiri yang tidak mempengaruhi shalatnya secara langsung.

·         Dan bagaimana dengan syarat-syarat yang lain untuk menjadi Imam? Misalnya hendaklah diutamakan orang yang baik bacaan al-Qur’annya, mengikut sebuah Haditst: “Jika mereka bertiga, seorang daripada mereka hendaklah menjadi imam; sedangkan ia adalah orang yang terpandai dalam bacaan al-Qur’annya (diantara mereka)”. Seterusnya dalam Hadits  yang lain dinyatakan jika mereka sama baiknya dalam bacaan, maka orang yang terpandai dalam hadits  Nabi hendaklah menjadi Imam.[24]

·         Jika Rasulullah SAW tidak melakukan sesuatu, demikian juga shahabat, tabiin dan salaf saleh seterusnya, maka apakah sesuatu itu menjadi tidak boleh dan terlarang? Kenyataannya tidak selamanya demikian. Banyak bukti menunjukkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah SAW. mempunyai kemungkinan lain selain larangan. Sekadar menyebut contoh. Pertama: Nabi tidak melakukannya karena tidak biasa, seperti ketika beliau disuguhkan kadal (dhabb) bakar.[25] Kedua: ditinggalkan karena beliau lupa, seperti ketika Rasullullah SAW. lupa dalam shalatnya, kelebihan atau kekurangan rakaat.[26] Ketiga: ditinggalkan karena khawatir itu wajib bagi umatnya, seperti dalam kasus shalat tarawih ketika beliau absen dari jamaah di Masjid. Keempat: ditinggalkan karena saat itu belum terpikir dalam benak Rasul, seperti ketika khutbah yang mengandalkan batang pohon kurma. Ketika ada yang mengusulkan untuk membuat mimbar beliau menyetujuinya.

·         Masih banyak contoh lain dalam kitab-kitab Hadits . Dari sini dapat dikatakan, sesuatu yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Rasul tidak berarti mengandung larangan. Ia menjadi terlarang jika ada nas lain yang melarangnya. Ibnu Hazm menyebut alasan ulama mazhab Hanafi dan Maliki yang menyatakan makruh hukumnya shalat dua rakaat sebelum magrib dengan mengutip perkataan Ibrahim al-Nakhaiy bahwa Abu Bakar, Umar dan Usman tidak melakukannya. Lalu ia komentari: “Kalaupun perkataan al-Nakhiy itu benar, tidak dapat dijadikan landasan, sebab tidak ditemukan nash dari mereka yang melarangnya”. Ia juga mengutip alasan lain bahwa Ibnu Umar berkata, “Tidak kutemukan seorang pun melakukannya”. Lalu ia komentari lagi: “Ini juga tidak dapat dijadikan alasan, kalau itu benar pasti ia akan melarangnya”.[27] Syeikh Abdullah Shiddiq al-Ghumariy, dalam bukunya “Husnu al-Tafahhum wa al-Dark li Mashalat al-Tark“, telah membahas secara gamblang permasalahan hukum sesuatu yang tidak dilakukan Rasul dan salaf saleh.

·         Kemungkinan dalil lain yang digunakan jumhur ulama adalah kaidah preventif dalam ilmu fikih; saddu al-dzarâi, yaitu mencegah kekhawatiran jika perempuan menjadi imam, seperti sulitnya mencegah pandangan mata, suara perempuan yang dapat mengundang syahwat dan seterusnya. Kaidah tersebut banyak menimbulkan permasalahan Berkata imam SyafiI dalam kitab al-Um, Tidak dibolehkan seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki dalam kondisi apapun. Demikian juga jika yang shalat bersamanya (makmum) adalah seorang khuntsâ musykil shalatnya tidak mendapat pahala. Dan jika khuntsâ musykil shalat bersamanya (menjadi makmum), shalatnya belum selesai sampai kemudian diketahui bahwa imamnya adalah perempuan, maka saya lebih suka ia mengulangi shalatnya dan saya kira shalatnya (yang pertama) tidak mendapatkan pahala. Karena ketika ia shalat, ia bermakmum pada seseorang yang tidak boleh menjadi imam.”[28]

·         Hadits  yang berbunyi: أخرواهن حيث أخرهن الله adalah perkataan Ibnu Mas’ud. Karenanya ungkapan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai sabda dari Rasul. Dalam ilmu Hadits , perkataan (qaul) shahabat memiliki status hukum sebagai hadits  Rasul (marfû) jika memenuhi dua syarat: 1) Qaul tersebut berkaitan dengan sesuatu yang tidak dapat dinalar (fî mâ lâ majâla li al-rayi fîh); 2) Shahabat termasuk tidak dikenal sering mengambil dari sumber-sumber isrâiliyyât. Perkataan Ibnu Masuddi atas tidak memenuhi syarat yang pertama. Kalaupun itu benar, matan Hadits  tersebut akan bertabrakan dengan sejumlah ayat yang menyatakan kesamaan antara laki-laki dan perempuan (tentunya dengan memperhatikan perbedaan yang ada).[29]

 

Tarjih:

Dari dua pandangan di atas penulis melihat bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat jumhur ulama dengan beberapa alasan sebagai berikut:

·         Argumentasi yang dikemukakan lebih dapat diterima.

·         Hadits  Ummi Waraqah masih memiliki banyak tafsiran. Siapakah yang menjadi makmum pada waktu itu? Jika memang terdapat makmum laki-laki, apakah Hadits  tersebut hanya dikhususkan pada Ummi Waraqah saja, atau boleh dilaksanakan untuk umat Islam secara umum?. Jika dibolehkan oleh umat Islam secara umum, mengapa dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi seorang perempuan menjadi Imam? Dan masih banyak pertanyaan lain.

 

Penutup

Imam perempuan sebagaimana yang dilaksanakan Fatimah Wadud memang banyak menimbulkan polemik dikalangan ulama Islam. Meski sebenarnya permasalahan ini sudah banyak dibahas oleh para ulama terdahulu, namun menuntut para ulama kontemporer untuk mengkaji kembali berbagai pandangan ulama tersebut. Fatimah wadud tidak bergerak dalam tataran wacana, namun berani melaksanakan wacana klasik dalam tatanan sosial masyarakat. Bisa jadi, keberanian Fatimah Wadud karena kondisi sosial yang melingkupinya. Bagaimanapun juga, pemikiran dan tingkah laku seseorang biasanya tidak akan lepas dari pengaruh ruang waktu.

Persoalan muncul ketika ruang waktu ikut dijadikan sebagai justifikasi dalam melaksanakan ibadah mahdhah yang bersifat taabbudiy dan ittibâ. Di sini urusan agama dapat diinterpretasikan sesuai dengan tuntutan zaman. Maka yang terjadi adalah distorsi atas norma dan nilai agama. Jika sudah demikian, agama dapat berubah mengikuti arus perjalanan peradaban manusia yang pada akhirnya akan mengaburkan dan bahkan menghapuskan eksistensi agama yang sesungguhnya. Motif apa sesungguhnya yang berdada di balik semua itu, apakah hanya sekedar tuntutan kesetaraan gender ataukah ada motif lain? Itulah yang masih menyisakan banyak pertanyaan dalam benak kita.

Dalam makalah sederhana ini, semoga sedikit memberikan kontribusi positif dalam menanggapi berbagai wacana yang sedang mencuat akhir-akhir ini, khususnya yang berkaitan dengan ketetapan hukum imam perempuan bagi makmum laki-laki sesuai dengan tinjauan fikih.. WalLahu alam.

 

Penulis: Wahyudi Abdurrahim, Lc.
Editor: Muhammad Yusmi Ridho

Daftar Pustaka:

1.      Abu Zahrah, Muhammad, Ushûlul Fiqhi, Dâr al-Fikri al-Arabiy

2.   Quddamah, Ibnu, al-Mughniy, Tahqîq Dr. Muhammad Syarafuddin Khithâb dan Dr. Al-Sayyid Muhammad al-Sayyid, Dârt al-Hadîts, vo. II, 2004

3. Al-Sayyid, Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, Tanqîh wa Tashhîh Khâlid al-Îththâr, Dâr al-Fikr, vol. I

4.      Nawawiy, Imam, Kitâbul Majmû Syarhu al-Muhadzdzab li al-Syairâziy, Tahqîq, Muhammad Mujib al-MuthîI, Maktabah al-Irsyâd, vol. IV

5.      Hâsyiystâni Qalyûbi-Umairah, Dâr al-Fikr, vol I, 1998

6.   Mausûatu al-Fiqhi al-IslâmiyWizâratul Auqâf Majlis Alâ li Syuûni al-Islâmiyyah, vol. XXV, 1996

7.      Ibnu Arabiy, Futuhât al-Makiyyah

8. Al-Shanâniy, Muhammad Ibnu Ismail al-Amir al-Yamani, Subulu al-Salâm, Tahqîq Ishamuddin al-Shababithi dan Imadussayyid, Dâr al-Hadîs vol. II, 2004

9.      Al-Ghazali Muhammad, Qadhayâ al-Marah baina al-Taqâlîd al-Râkid wa al-Wâfid, Dâr al-Syurûq, cet. V, 1994

10. Syaukâni, Muhammad ibnu Ali, Nailul Authar, Taqdîm wa Taqrîzh wa Tarîf Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Dâr al-Salâm Vol. II

11.  Al-Zhahiri, Ibnu Hazm, al-Muhallâ, Vol. III

12.  Al-Syafii, Imam ibnu Idris, al-Um, vol. I

13.  www.alarabiya.net

14.  www. Eramuslim.com

15.  Milis KMNU2000, Sabtu, 27 Maret 2005

16.  Milis INSIST

Catatan Kaki:

[3] Penulis tidak mengatakan ijmak karena dalam kitab ushul fikih dikatakan bahwa ijmak adalah konsensus seluruh para mujtahid dari umat Muhammad SAW. pada masa tertentu setelah nabi Muhammad SAW. wafat mengenai ketetapan hukum syaiat dalam perkara yang bersifat praktis. Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûlul Fiqhi, Dâr al-Fikri al-Arabiy, hal. 185.

Mafhûm mukhâlafah dari definisi tadi adalah, jika masih ada mujtahid yang tidak sependapat berarti perkara tersebut belum disebut ijmak, atau masih mukhtalaf fîhi. Hal ini dikuatkan dengan pandangan ulama terdahulu yang masih menganggapnya sebagai perkara khilafiyah. Lebih lengkapnya lihat, Ibnu Quddamah, al-Mughniy, Tahqîq Dr. Muhammad Syarafuddin Khithâb dan Dr. Al-Sayyid Muhammad al-Sayyid, Dârt al-Hadîts, vo. II, 2004, hal. 313. Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, Tanqîh wa Tashhîh Khâlid al-Îththâr, Dâr al-Fikr, vol. I, hal, 118. Di antara ulama kontemporer yang menganggapnya sebagai persoalan khilafiyah adalah Dr. Ali Jumah dan Prof. Dr. Thaha Jabir al-Alwani. Yang terkakhir ini pernah mengatakan dalam acara “Min Washington” di TV Al-Jazeera pada kamis malam (17/3/2005), Masalah ini adalah khilafiyyah. Pendapat ketiga ulama tadi (maksudnya al-Thabari, al-Muzanni dan Abu Tsaur) patut dipertimbangkan untuk kondisi saat ini, apalagi ketiganya cukup kompeten dalam ilmu fikih. Beliau juga mengatakan bahwa secara prinsip menerima, hanya saja timing-nya yang kurang tepat.

[4] Lebih lengkapnya lihat, Ibnu Quddamah, op. cit., Ibnu Rusy, op. cit, Imam Nawawiy, Kitâbul Majmû Syarhu al-Muhadzdzab li al-Syairâziy, Tahqîq, Muhammad Mujib al-MuthîI, Maktabah al-Irsyâd, vol. IV, hal. 151 et. Seq., Hâsyiystâni Qalyûbi-Umairah, Dâr al-Fikr, vol I, 1998, hal. 267. Mausûatu al-Fiqhi al-Islâmiy, Wizâratul Auqâf Majlis Alâ li Syuûni al-Islâmiyyah, vol. XXV, 1996, hal. 49-118.

[5] HR. Ibnu Majah.

[6] Demikianlah tercantum dalam kitab Bidâyatul Mujtahid yang menganggap bahwa perkataan tersebut adalah sabda Rasulullah. Dalam kitab Aunul Mabûd Syarh Abû Dâwud perkataan ini tidak langsung dinisbatkan pada Rasulullah SAW., namun pada Ibnu Masud. Pertanyaannya kemdudian, apakah perkataan Ibnu Masut tersebut dianggap marfu kepada Rasulullah ataukah hanya fatwa belia saja? Secara lengkap hadits  tersebut berbunyi, قَالَ اِبْن مَسْعُود أَخِّرُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَخَّرَهُنَّ اللَّه. HR. Bukhari hadits  no. 685, HR Abu Dawud hadits  no. 515.

[7] Ibnu Quddamah, op. cit

[8] Dr. Yusud Qaradhawi yang dinukil dari www. Eramuslim.com

[9] Ibid.

[10] HR. Ahmad dalam kitab Min Musnad al-Qabâil, hadits  no. 26022.

[11] HR. Ahmad, dalam kitab min musnad al-qabâ’il, hadits  no. 26022. HR. Abu Dawud dalam kitab shalât, hadits  no. 500.

[12] Perkataan Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. Penulis adalah dosen Ulum al-Hadits pasca sarjana UI, UIN Jakarta, UMJ dan IAIN Bandung, dinukil dari sebuah situs internet.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid

[16] Penulis hanya dapat menemukan pendapat para ulama tersebut dari referensi kedua, seperi kitab al-Mughni, Bidâyatu’l Mujtahid, Subulu al-Salâm dan Kitâb Majmu’. Hal ini karena sampai saat ini penulis belum menemukan pendapat mereka dari hasil karyanya masing-masing. Ibnu Arabi mengatakan, “Terdapat ulama yang membolehkan wanita menjadi imam kaum lelaki dan kaum wanita secara mutlak. Saya juga setuju dengan pendapat ini. Ada pula ulama yang melarang wanita menjadi imam (kaum lelaki dan kaum perempuan) secara mutlak. Begitu juga ada ulama yang mengharuskan wanita menjadi imam kaum wanita tanpa kaum lelaki. Demikian itu karena mengambil iktibar dari pengakuan Rasulullah tentang kesempurnaan setengah wanita sebagaimana juga pengakuan Rasulullah terhadap kesempurnaan setengah lelaki walaupun kaum lelaki lebih sempurna dari wanita seperti dalam kenabian (al-nubuwwah)”.
Yang dimaksudkan lelaki lebih sempurna dari perempuan menurut pandangan Ibn Arabi ialah dalam perkara nubuwwah. Namun begitu ia mengatakan bahwa kelebihan laki-laki tersebut tidak boleh menyekat wanita menjadi imam shalat lelaki. Lihat Ibnu Arabiy, Futuhât al-Makiyyah, hal. 535.

[17] Dr. Ali Jumah berkata, “Karena terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai wanita menjadi imam shalat bagi kaum lelaki, maka tidak menjadi persoalan Amina Wadud menjadi imam shalat jumat yang turut dihadiri kaum lelaki pada 18 Maret lalu”. Beliau berkata begitu dalam wawancara dengan televisi Mesir dalam acara “al-Bait Baitak”. Beliau mengakui, “Jumhur ulama menganggap wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi makmum lelaki, tetapi sebagian kecil ulama lain seperti Imam al-Tabari dan Imam Ibn Arabi menganggap wanita boleh menjadi imam shalat bagi makmum lelaki. Perkara khilafiah seperti itu terserah kepada orang yang berpegang dengan perkara itu. Jika mereka menerima wanita menjadi imam shalat mereka, itu adalah urusan mereka dan tidak menjadi masalah selama tidak keluar dari pandangan-pandangan terkenal itu. Sebaliknya jika mereka menolak (wanita menjadi imam shalat lelaki), itu adalah urusan mereka juga dan ini sama seperti kebanyakan negara Islam termasuk Mesir yang dipercayai tidak mungkin melakukan perkara itu kerana bertentangan dengan yang ada dalam pemikiran dan adat masyarakat yang Mesir sendiri”. Pandangan Dr. Ali Jumah pernah dimuat dalam situs: http://www.alarabiya.net/Article.aspx?v=11294

[18] HR. Ahmad dalam kitab Min Musnad al-Qabâ’il, hadits  no. 26022

[19] HR. Ahmad, dalam kitab min musnad al-qabâ’il, hadits  no. 26022. HR. Abu Dawud dalam kitab shalât, hadits  no. 500.

[20] Muhammad Ibnu Ismail al-Amir al-Yamani Al-Shan’âniy, Subulu al-Salâm, Tahqîq Ishamuddin al-Shababithi dan Imadussayyid, Dâr al-Hadîs vol. II, 2004, hal. 49 et seq.

[21] Ibnu Hazm, al-Muhallâ, Vol. III, hal. 55.

[22] Lebih lengkapnya lihat, Muhammad al-Ghazali, Qadhayâ al-Mar’ah baina al-Taqâlîd al-Râkid wa al-Wâfid, Dâr al-Syurûq, cet. V, 1994, hal. 164.

[23] Muhammad ibnu Ali Syaukâni, Nailul Authar, Taqdîm wa Taqrîzh wa Ta’rîf Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Dâr al-Salâm Vol. II, hal. 372.

[24] Dari poin 1-5 disarikan dari milis KMNU2000, Sabtu, 27 Maret 2005 dengan perubahan seperlunya.

[25] HR. Bukhari Muslim.

[26] HR. Bukhari dan Muslim.

[27] Ibnu Hazm, op. cit. vol. II, hal. 254.

[28] Imam al-Syafii, Al-Um, vol. I hal. 164.

[29] Point 6 dan 7 disarikan dari perkataan Ust. Mukhlis Hanafi dalam milis INSIS

sumber: https://mesir.muhammadiyah.id/2021/09/04/hukum-perempuan-menjadi-imam-salat-bagi-makmum-laki-laki-bag-2/

 


Previous Post Next Post

Categorised Posts

نموذج الاتصال