Pertanyaan:
Bagi wanita muslimah di Indonesia, apakah wajib menutup auratnya seperti
yang termaktub dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 30-32? Seandainya wajib,
apakah kadar kewajibannya sama dengan kadar kewajiban melaksanakan shalat lima
waktu?
Dan jika tidak wajib seperti dalam surat an-Nur tersebut diatas,
aurat-aurat manakah yang harus ditutup bagi wanita Indonesia? Mohon dijelaskan
secara rinci ayat tersebut. (Ahmad Yani, WNI tinggal di Makkah al-Mukarramah)
<1>
Jawaban:
Para ulama hingga kini
masih berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat wanita muslimah, baik
muslimah Indonesia maupun muslimah bukan Indonesia. Yang demikian itu, karena
terdapat perbedaan penafsiran terhadap surat an-Nur (24): 30-31.
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami kutipkan lebih dahulu ayatayat
yang membahas batas-batas aurat, baik yang terdapat pada surat an-Nur maupun
yang terdapat pada surat lainnya yang ada munasabahnya.
Ayat-ayat yang kami maksudkan ialah:
1. قُل
لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ
ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ (النور، ٢٤: ٣٠)
2. وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ
مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ
وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ
ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ
بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ
غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ
يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ
لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا
أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
(النور،
٢٤: (٣١
3. يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل
لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن
جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ
ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا (الأحزاب، ٣٣: ٥٩)
Artinya:
1. Katakanlah kepada kaum mukminin: Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
[An-Nur (24): 30]
2. Katakanlah kepada para wanita yang beriman: Hendaklah mereka
menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasanya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka atau puteraputera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau puteraputera saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [An-Nur (24);
31]
3. Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke tubuhnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha
Penyayang. (Al-Ahzab (33): 59)
Untuk memahami ayat-ayat tersebut, perlu memahami lebih dahulu dua kata
kunci yaitu: ‘aurah
dan jilbab.
‘Aurah, menurut bahasa berarti:
segala sesuatu yang harus ditutupi; segala sesuatu yang menjadikan malu apabila
dilihat. (Luis Ma’luf, di bawah
arti ‘awira). Menurut istilah,
‘aurah ialah anggota
badan manusia yang wajib ditutupi, dan haram dilihat oleh orang lain, kecuali
orang-orang yang disebutkan pada surat anNur (24): 31. Dalam bahasa Indonesia, ‘aurah disebut dengan
istilah aurat, dan selanjutnya dalam paparan ini digunakan istilah tersebut.
Jilbab, berasal dari kata
jalbaba yang berarti
memakai baju kurung. Para ulama berbeda pendapat mengenai arti jilbab. Sebagian ulama
mengartikannya baju kurung; sedang ulama lainnya mengartikannya baju wanita
yang longgar yang dapat menutupi kepala dan dada. Al-Asy’ary berpendapat bahwa
jilbab ialah baju yang dapat menutupi seluruh badan. Ulama lainnya berpendapat,
bahwa jilbab ialah kerudung wanita yang dapat menutupi kepala, dada, punggung.
(Ibnu Manzur, Lisan
al-Arab, dibawah art. jalaba).
Menurut Ibnu Abbas, jilbab ialah jubah yang dapat menutup badan dari atas
hingga ke bawah. (al-Qasimy, XIII: 4908). Menurut al-Qurtuby, jilbab ialah baju
yang dapat menutup seluruh badan. (al-Qurtuby, VI: 5325).
Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa jilbab
mempunyai dua pengertian:
- Jilbab ialah kerudung yang dapat menutup kepala, dada dan punggung
yang biasa dipakai oleh kaum wanita. - Jilbab ialah semacam baju kurung yang dapat menutup seluruh tubuh,
yang biasa dipakai kaum wanita.
Jika kedua pengertian tersebut digabungkan, maka yang dimaksud dengan
jilbab ialah: pakaian wanita yang terdiri dari kerudung dan baju kurung yang
dapat menutup seluruh auratnya.
Ayat 30–31 Surat An-Nur (24), tergolong ayat Madaniyah, menurut al Muhaayimiy, seluruh ayat
dari surat An-Nur adalah Madaniyah,
sedang al-Qurtuby mengecualikan ayat: Ya
ayyuhalladziina aamanuu liyasta’zinkum…(58) adalah Makkiyah.
(al-Qasimy, 1978, XII:107).
Sebab nuzul kedua ayat tersebut menurut suatu riwayat adalah sebagi
berikut:
oleh Ibni Mardawaih, dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata: Pada masa
Rasulullah SAW, ada seorang berjalan di suatu jalan di Madinah, kemudian dia
melihat seorang wanita, dan wanita itupun melihatnya, lalu syaitan pun
mengganggu keduanya sehingga masing-masing melihatnya karena terpikat. Maka
ketika laki-laki tersebut mendekati suatu tembok untuk melihat wanita tersebut,
hidungnya tersentuh tembok hingga luka. Lalu ia bersumpah: Demi Allah saya
tidak akan membasuh darah ini hingga bertemu Rasulullah SAW dan memberi tahu
kepadanya tentang masalahku. Kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW dan
menceritakan peristiwanya. Kemudian bersabdalah beliau: “Itu adalah balasan
dosamu” lalu turunlah ayat: قُل
لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ (as-Siyuthiy, t.t., ad-Durrul Mansur, V: 40).
oleh Ibnu Katsir, dari Muqatil ibni Hibban, dari Jabir ibni Abdillah
al-Ansariy, ia berkata: “Saya mendengar berita bahwa Jabir ibni Abdillah
al-Ansariy menceritakan, bahwa Asma’ binti Marsad, ketika berada di kebun kurma
miliknya, datanglah kepadanya orang-orang wanita dengan tidak memakai izar (kain), sehingga
tampaklah gelang kaki mereka dan dada mereka. Maka berkatalah Asma’: Ini tidak
baik. Kemudian Allah SWT menurunkan firmannya: وَقُل
لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ (as-Siyuthiy, 1954: Lubab an-Nuqul: 161).
Sekalipun ayat tersebut diturunkan karena sebab tertentu, namun ayat
tersebut berlaku untuk umum, yaitu seluruh kaum mukminin.
Allah SWT memerintahkan kepada kaum mukminin agar menahan pandangannya
terhadap wanita-wanita yang bukan mahramnya, dan melarang memandang kecuali
hanya bagian yang diperbolehkan memandangnya. Juga memerintahkan agar menjaga farjinya dari perzinahan
dan menutup auratnya hingga tidak terlihat oleh siapapun, sehingga hatinya
menjadi lebih bersih dan terjaga dari kemaksiatan. Sebab pandangan mata dapat
menanamkan syahwat dalam hati, dan seringkali syahwat dapat mengakibatkan
kesusahan yang sangat panjang. Apabila dengan tidak sengaja memandang sesuatu
yang haram, maka hendaklah segera memalingkan pandangannya, dan jangan
mengulanginya dengan pandangan yang penuh syahwat, sebab Allah Maha Mengetahui.
Allah SWT tidaklah hanya memberi peringatan kepada kaum mukminin,
melainkan juga kepada kaum mukminat. Bahkan tidak hanya melarang memandang
hal-hal yang haram, melainkan juga melarang menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada mahramnya, agar tidak mudah terpeleset dalam kemaksiatan, namun apabila
perhiasan tersebut terlihat tanpa disengaja, maka Allah Maha Pengampun.
Pada masa jahiliyah perempuan suka membuka bagian leher, dada dan
lengannya, bahkan sebagian tubuhnya, hanya sekedar untuk menyenangkan laki-laki
hidung belang, dan laki-laki pun suka memandang aurat wanita, sebagaimana masa
kini, bahkan pada masa kini mereka lebih berani, maka pantaslah jika masa kini
disebut “jahiliyah modern”. Moral yang rendah itulah yang menjadi sumber
kejahatan, baik masa lampau maupun masa kini.
Untuk itulah Allah SWT memerintahkan kepada kaum wanita untuk menutup
auratnya dengan sempurna, dan melarang kaum pria mengumbar pandangannya untuk
menjaga kejahatan yang lebih parah yang menimbulkan kekacauan dalam masyarakat,
maka pemberantasan pornografi dan pornoaksi, baik di majalah-majalah, pentas
seni maupun di sinetron perlu diintensifkan.
Mengapa Allah SWT
melarang memandang aurat lain jenis? Sebab timbulnya kejahatan besar tidaklah
mendadak, melainkan sedikit demi sedikit. Mula-mula dari pandangan, kemudian
senyuman, perkenalan dan seterusnya. Syauqi dalam syairnya mengatakan:
نَظْرَةٌ
فاَبْتِشَامَةٌ فَسَلاَمٌ، فَكَلامٌ فَمَوْعِدٌ فَلِقَاءٌ.
“Pada mulanya hanyalah pandangan, kemudian senyuman,
kemudian salam, kemudian percakapan, kemudian perjanjian, lalu kencan.”
Seorang
sastrawan berkata:
وَمَا
الْحُبُّ إلاَّنَظْرَةٌ بَعْدَ نَظْرَةٍ، تَزِيْدث نُمُوًّا إِنْ تَزِدْهُ لجَاَجًا.
“Cinta hanyalah pandangan demi
pandangan, jika terus bersemi maka menjadilah perbuatan nyata”.
(as-Sabuniy, 1971, Rawa’i’ul
Bayan, II: 149)
Dalam
tafsirnya, Safwatut Tafasir,
as-Sabuniy mengutip sebuah syair:
كَمْ نَظْرَةً فَتَكَتْ فِي قَلْبِ صَاحِبِهَا, فَتْكُ السِّهَامِ
بِلاَقَوْسٍ وَلَاوَتَرٍ
“Sering-sering pandangan mata menyerang
hati pemandangnya, bagaikan serangan anak panah tanpa busur dan tali”.
(as-Sabuniy, 1981, Safwatut
Tafasir, X:16).
Al-Qasimiy
mengutip sebuah syair:
كُلُّ
الحَوَادِثِ مُبْدَأهَا مِنَ النَّظْرِ, وَمَعْظَمُ النَّارِ مِنْ مُسْتَصْغَرِالشَّرَرِ
“Semua peristiwa permulaannya adalah dari pandangan, dan
sebagian besar api bermula dari percikan api kecil” . (al-Qasimy,
1978, XII:190)
Pandangan mata sangat besar peranannya dalam kejahatan, maka pada ayat
tersebut, perintah menahan pandangan disebutkan lebih dahulu dari perintah
menjaga farji.
Hikmah menahan pandangan:
Al-Qasimiy mengutip pendapat al-Imam Ibnil Qayyim sebagai berikut:
Hikmah menahan pandangan antara lain ialah:
1. Mentaati perintah Allah SWT
yang menjadi pangkal kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat,
sebab tiada yang lebih bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat kecuali
mentaati perintah-Nya, maka orang yang paling celaka baik di dunia maupun di
akhirat adalah orang yang membangkang terhadap perintah-Nya.
2. Mencegah masuknya pengaruh
pandangan beracun ke dalam hati, sehingga selamat dari pembusukan,
3. Mendekatkan diri kepada
Allah SWT, sebab melepas pandangan akan mencerai beraikan hati dan menjauhkan
diri dari Allah SWT, tiada yang paling berbahaya selain jauh dari Allah SWT,
yang mengakibatkan tergelincir dalam kejahatan.
4. Mengokohkan hati nurani dan
membahagiakannya, sebagaimana apabila mengumbar pandangan, akan melemahkan dan
menjadikannya susah.
5. Menjadikan hati bercahaya,
sebagaimana menjadikan hati dalam kegelapan apabila mengumbar pandangan, maka
ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan pada ayat berikutnya (ayat 35), bahwa Dia
menyinari langit dan bumi dengan sinar yang sangat indah dan terang benderang.
Allah SWT menyinari hati orang-orang mukmin yang mentaati perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya, dan apabila hati telah bersinar, maka datanglah dari
berbagai penjuru kebaikankebaikan, kebahagiaan dan sebagainya yang sangat
bermanfaat.
6. Diberi ketajaman firasat,
sehingga dapat membedakan antara orang yang jujur dan orang yang tidak jujur.
Ibnu Suja’ al-Kirmaniy mengatakan: “Barangsiapa lahirnya selalu mengikuti
sunnah Rasul dan batinnya selalu mendekatkan diri kepada Allah, serta menahan
pandangannya dari hal-hal yang haram, mengekang hawa nafsunya dan membiasakan
makan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah. Barangsiapa meninggalkan
sesuatu karena Allah, ia akan diberi ganti yang lebih baik, barangsiapa selalu
menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, ia akan diberi cahaya
pandangan hati yang tajam, dan dibukakan baginya pintu ilmu pengetahuan, iman,
makrifat serta firasat yang tepat dan benar, yang hanya diperoleh dengan
pandangan hati.
7. Menanamkan rasa kemantapan,
keberanian dan keteguhan dalam hati. Allah SWT memadukan antara kekuatan
pandangan hati dan hujjah. Hanya orang yang dapat meninggalkan hawa nafsunyalah
yang dapat memisahkan antara syaitan dan bayangannya. Allah SWT telah
menjanjikan ketinggian martabat bagi orang yang mentaati-Nya, sebagimana
ditegaskan dalam firman-Nya:
وَلَا تَهِنُواْ
وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Dan janganlah kamu
bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi martabatnya jika kamu orang-orang yang beriman”
(Ali Imran (3): 139).
8. Menutup pintu bagi syaitan,
sehingga tidak dapat masuk dalam hati, sebab masuknya syaitan kedalam hati
lewat pandangan mata. (al-Qasimiy, 1978, XII:192)
Ayat 59 surat al-Ahzab (33), termasuk ayat-ayat Madaniyah, sebab seluruh ayat dari surat al-Ahzab
adalah Madaniyah. (al-Qasimiy, 1978, XIII:221)
Adapun sabab nuzul
ayat tersebut, menurut riwayat Abi Salih ialah sebagai berikut: “Ketika
Rasulullah SAW datang di Madinah, jika istri beliau dan para wanita muslimah
keluar malam untuk suatu keperluan, sering diganggu oleh orang-orang laki-laki
yang duduk dipinggir jalan. Setelah dilaporkan kepada Rasulullah, maka turunlah
ayat ini (al-Ahzab, (33):59)”. (at-Tabariy, tt, Tafsir atTabariy, XXII:34).
Pada ayat sebelumnya, Allah SWT menjelaskan bahwa orang-orang yang
menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat sebenarnya telah melakukan dosa besar
dan sangat tercela, maka pada ayat berikutnya, Allah SWT memerintahkan pada Nabi
SAW agar para isteri beliau dan para wanita muslimat menutup aurat dengan
sebaik-baiknya, supaya mudah dibedakan antara orang yang terhormat dan orang
yang tidak terhormat, untuk menjaga diri dari gangguan laki-laki jahat yang
sering mengganggu di pinggir jalan.
Pada permulaan masa Islam, di Madinah masih banyak orang jahat yang suka
mengganggu wanita, sebab para wanita pada waktu itu masih selalu memakai
pakaian harian sebagaimana pada masa jahiliyah, sehingga tidak dapat dibedakan
antara orang terhormat dan orang yang tidak terhormat. Kadang-kadang mereka
menggangu wanita muslimah dengan alasan tidak dapat mengenalnya, dan
menyangkanya sebagai wanita yang tidak terhormat, karena itulah wanita muslimah
diperintahkan memakai mode pakaian yang berbeda dengan mode pakaian yang
dipakai oleh wanita yang tidak terhormat. (alQasimiy, 1978, XIII:4908).
Al-Qurtubiy dalam tafsirnya mengatakan, pakaian penutup aurat hendaklah
terbuat dari bahan yang tidak tembus pandang, agar warna kulit tidak kelihatan,
dan berbentuk longgar, agar bentuk badannya tidak tampak, kecuali apabila
sedang bersama suaminya, sebab pakaian tembus pandang dan sempit, tidak
memenuhi fungsinya sebagai penutup aurat, maka Rasulullah SAW pernah bersabda:
رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْأَخِرَةِ
“Kadang-kadang wanita berpakaian di dunia,
tetapi telanjang di akhirat.” (al-Qurtubiy, tt, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
VI:5326). <1>
Sekalipun ayat tersebut disampaikan dalam bentuk khabariyah (berita), tetapi didalamnya terkandung
makna perintah yang menunjukkan kepada wujub
(kewajiban). Menurut ilmu balaghah,
bentuk khabariyah itu lebih baligh
(tegas dan tepat) daripada bentuk insya’iyah
amr (perintah), maka jelaslah bahwa menutup aurat merupakan
kewajiban bagi kaum muslimin dan muslimat, bukan hanya keluarga Nabi SAW, dan
para wanita Madinah, sebab ayat tersebut berlaku umum, sekalipun diturunkan
karena sebab khusus.
Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya agar umat Islam semuanya mentaati
peraturan adab dan sopan santun Islam, petunjuknya yang mulia dan peraturanperaturannya
yang bijaksana, untuk kebaikan bersama, baik untuk kehidupan perseorangan
maupun kehidupan bermasyarakat. Allah SWT mewajibkan orang-orang muslimah untuk
menutup auratnya agar kehormatannya terjaga dari pandangan yang menyakitkan,
kata-kata yang menyengat, jiwa yang sakit dan niat jahat lakilaki yang tidak
berakhlak, sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nur (24):31. Kewajiban menutup
aurat bukanlah merupakan adat kebiasaan atau tradisi Arab sebagaimana dikatakan
oleh sebagian orang. Islam mewajibkan menutup aurat adalah bertujuan untuk
memotong niat jahat para syaitan, sehingga mereka tidak dapat menggoda hati
para laki-laki dan para wanita. Itulah yang dimaksudkan dengan firman-Nya: “Zalika azka lahum” (yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka). (an-Nur (24):30).
Batas-batas Aurat
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas aurat, karena
perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang aurat. Para ulama telah sepakat
bahwa antara suami dan isteri tidak ada aurat, berdasarkan firman-Nya:
إِلَّا
عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ
مَلُومِينَ
“…Kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal itu tiada tercela”. ( al-Mukminun (23): 6).
(as-Ssabuniy, 1971, II: 154).
Maka yang dibahas disini adalah
aurat lak-laki dan perempuan terhadap orang lain.
1. Aurat Laki-laki Terhadap Laki-laki: Menurut jumhur ulama, aurat
laki-laki terhadap laki-laki ialah antara pusat perut hingga lutut, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Jurhud al-Aslamiy, ia berkata: Rasulullah SAW
duduk diantara kita dan paha saya terbuka, kemudian beliau bersabda:
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الفَخِذَ عَوْرَةٌ
( اخرجه ابو داود والترميذي)
“
Ketahuilah bahwa paha adalah aurat”. (ditahrijkan oleh Abu Dawud dan
at-Tirmiziy) <3>
2. Aurat Perempuan Terhadap Perempuan: Jumhur ulama berpendapat
bahwa aurat perempuan terhadap perempuan adalah sama dengan aurat lakilaki
terhadap laki-laki.
3. Aurat Laki-laki Terhadap Perempuan: Jumhur ulama berpendapat
bahwa aurat laki-laki terhadap perempuan adalah dari pusat perut hingga lutut,
baik terhadap mahraam maupun bukan mahram. (as-Sabuniy, 1971, II:153)
4. Aurat Perempuan Terhadap Laki-laki: Para ulama berbeda pendapat
tentang aurat perempuan terhadap laki-laki, dan diantara pendapat-pendapat
tersebut ada dua pendapat yang diikuti oleh banyak orang, yaitu:
a. Asy-Syafi’iyah
dan al-Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, dengan
alasan:
1). Firman Allah: Wala
Yubdina Zinatahunna (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya).
(an-Nur (24): 31). Ayat tersebut dengan tegasa melarang memaparkan
perhiasannya. Mereka membagi zinah (perhiasan) menjadi dua macam: Pertama zinah khalqiyyah
(perhiasan yang bereasal dari penciptaan Allah), seperti wajah, ia adalah asal
keindahan dan menjadi sumber fitnah. Kedua zinah
muktasabah (perhiasan yang dibuat manusia), seperti baju, gelang dan
pupur.
Ayat tersebut
mengharamkan kepada wanita menampakkan perhiasan secara mutlak, baik perhiasan khalqiyyah maupun
perhiasan muktasabah, maka haram
bagi wanita menampakkan sebagian anggota badannya atau perhiasaannya dihadapan
orang laki-laki. Mereka mena’wilkan firman Allah: “Illa ma zahara minha” (kecuali apa yang biasa
tampak daripadanya), bahwa yang dimaksudkan dengan ayat tersebut ialah:
“menampakan tanpa sengaja”, seperti tersingkap karena angin, baik wajah atau
anggota badan lainnya, sehingga ma’na ayat tersebut menjadi sebagai berikut:
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selam-lamanya”.
2). Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, ia menceritakan,
bahwa Nabi SAW memboncengkan al-Fadl ibnul-Abbas pada hari Nahr dibelakangnya,
dia adalah orang yang bagus rambutnya, dan berkulit putih. Ketika itu datanglah
seorang wanita minta fatwa kepada beliau, kemudian al-Fadl melihatnya dan
wanita itupun melihat al-Fadl. Kemudian Rasulullah SAW memalingkan wajah al-Fadl
kearah lain… (ditahrijkan oleh al-Bukhari, dari Ibni Abbas, bab Hajji Wada’)
3). Apabila keharaman meliha rambut dan kaki telah disepakati oleh
para ulama, maka keharaman melihat wajah adalah lebih pantas disepakati, sebab
wajah adalah asal keindahan dan juga sumber fitnah, maka bahaya memandang wajah
adalah lebih besar.
b. Imam Malik dan
Abu Hanifah berpendapat, bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah
dan dua tapak tangan, dengan alasan:
1). Bahwa firman Allah SWT: “Wa la yubdiha zinatahunna illa ma
zahara minha” (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang biasa tampak daripadanya) (an-Nur (24): 31), ayat tersebut
mengecualiakan apa yang biasa tampak, yang dimaksudkannya ialah wajah dan dua
tapak tangan. Pendapat tersebut dinukil dari sebagian sahabat dan tabi’in.
sa’id bin Jbir juga berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “apa yang baisa
tampak” adalah wajah dan dua tapak tangan, demikian pula ‘Ata’. (at-Tabariy,
Tafsir at-Tabariy, XVIII: 118).
2) mereka menguatkan pendapat
tersebut dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang bunyi teksnya
sebagai berikut:
ﹶأنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه و سلَّم
وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقاَقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليهِ وسلَّم
وَقَالَ: يَاأَسْمَاءُ إنَّ المرأﹶةﹶإِذﹶا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لمَ ْيَصْلُحْ أﹶنْ
يرُىَ مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلىَ وَجْهِهِ وَكَفَّيهِ .(اخرجه
ابو داودعن عائشة)
“Bahwa
Asma’ binti Abi Bakr masuk ketempat Rasulullah SAW dengan memakai baju yang
tipis, kemudian Rasulullah SAW berpaling daripadanya dan bersabda: “Hai Asma’
sesungguhnya apabila wanita itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat
sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini, dan beliau menunjuk kepada muka dan
kedua tapak tangannya.” (ditahrijkan oleh Abu Dawud, dari ‘Aisyah). <4>
3).
Mereka mengatakan, diantara dalil yang memperkuat pendapat bahwa wajah dan dua
tapak tangan adalah bukan aurat, ialah bahwa dalam melakukan shalat dan ihram,
wanita harus membuka wajah dan dua tapak tangannya. Senadainya kedua anggota
badan tersebut termasu aurat, niscayatidak diperbolehkan membuka kedaunya pada
waktu mengerjakan shalat dan ihram, sebab menutup aurat adalah wajib, tidaklah
sah shalat atau ihram seseorang jika terbuka auratnya. (asSabuniy, 1971, II:
155).
Demikianlah pendapat para imam tentang aurat wanita: asy-Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa seluruh anggota badan adalah aurat, termasuk wajah
dan kedau tapak tangan. Adapun imam Malik dan imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa wajah dan kedua tapak tangan tidak termasuk aurat.
Al-Qasimiy mengutip pendapat as-Siyutiy dalam al-Iklil: Ibnu Abbas,
sebagimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, berpendapat bahwa wajah dan dua
tapak tangan adalah bukan aurat. Pendapat inilah yang dijadikan alasan bagi
orang yang memperbolehkan melihat wajah dan tapak tangan wanita selama tidak
menimbulkan fitnah. (al-Qasimiy, 1978, XII: 195).
Jika dihubungkan dengan sebab nuzul ayat 30-31 surat an-Nur dan ayat 50
surat al-Ahzab, perintah menutup seluruh tubuh bagi para wanita, karena
kekhawatiran yang mendalam akan timbulnya fitnah, karena di Madinah pada waktu
itu masih banyak orang fasik yang beradat kebiasaan jahiliyah, dan suka
mengganggu para wanita. Kekhawatiran Rasulullahh SAW pada waktu itu sangat
masuk akal, karena beliau sangat paham terhadap adat istiadat jahiliyah.
Kekhawatiran akan adanya fitnah pada masa kinipun masih menghantui kita,
apalagi pengaruh budaya dari berbagia bangsa didunia ini yang tidak mengenal
norma-norma islamiyah adalah sangat besar.
Kami berpendapat bahwa alasan bagi pendapat bahwa aurat wanita adalah
seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan adalah lebih kuat, dan pendapat
tersebut menurut kami lebih pas bagi muslimah Indonesia. sekalipun demikian
kami berpendapat bahwa menutup wajah dan tapak tangan tidaklah terlarang,
bahkan merupakan perbuatan kehati-hatian yang terpiji, dan menutup aurat dengan
libasut-taqwa (pakaian taqwa) adalah paling baik.
Referensi.
jawab Agama Jilid 7. Suara Muhammadiyah
At-Tirmidzi 2795, dishahihkan Imam Albany.
Lighairihi