Guru Pengusung Moral Generasi Berkemajuan

 “Guru Pengusung Moral Generasi Berkemajuan”


Oleh, Moh.
Zain
i., S.PdI., M.Pd


Anggota
CMM (103), Mahasiswa S3 UIN Malang, Dosen
IKIP Budi
Utomo Malang


 

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟
أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُون
َ


Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
(Qs. an-Nahl, [16] : 43)



 



Guru adalah sosok pusat teladan (center
of exemplary
) yang mendapat
kan perhatian penuh dari siswanya, cara dan gaya
berpikirnya,

kedalaman ilmunya, tutur katanya,
body language, sikap tegasnya, kebijaksanaanya, bahkan sikap
marahnya. 
Tugas menjadi guru, tentu
bukanlah tugas yang mudah, dan main-main. Peran dan tanggungjawabnya tidak
hanya dipertanggungjawabkan secara personal,
bahkan secara
komunal. Dalam arti, bahwa seorang guru harus mempertanggungjawabkan segala
bentuk sikapnya kepada peserta didik, orangtua wali, publik, pemerintah, bahkan
kelak dihadapan Allah SWT juga dipertanyakan. Pemahaman masyarakat Indonesia
lebih populer menyatakan, bahwa Guru adalah digugu dan ditiru.
Dari pemahaman inilah yang mengharuskan lahirnya konsep guru yang rigid dan
paripurna sebagai gambaran atau model seorang guru yang sebenarnya. Guru adalah
soso
k manusia model,
-yang secara
langsung atau tidak langsung segala sikapnya diteladani oleh peserta didiknya.




Dalam kontek
pendidikan Islam pendidik atau guru disebut dengan Murobbi, Mu’allim dan
Muaddib
. Istilah “Murobbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang
orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau
rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua dalam
membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelanyanan secara
penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan berkepribadian serta
akhlak yang terpuji.




Sedangkan untuk
istilah “Mu’allim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas
yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan, dari
seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah “Muaddib”,
menurut Al-Attas, lebih luas dari istilah
Muallim dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.




Kedudukan orang
alim dalam Islam dihargai
sangat tinggi atas ilmu dan pengajaran ilmunya kepada orang
lain
. Mengutip dari kitab
Ihya’Ulumuddin karya Imam Ghazali bahwa “siapa
yang memilih pekerjaan mengajar maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan
besar dan penting.
” Pilihan besar ini karena disebabkan kemuliaan ilmu Allah
SWT yang terikat pada seorang guru, sehingga baginya mendapatkan tanggung jawab
moral yang tinggi. Pengahargaan Islam terhadap ilmu tergambar dalam sebuah ungkapan:
"Apabila seorang alim meninggal maka
terjadilah kekosongan dalam Islam yang tidak dapat diisi kecuali oleh seorang
alim yang lain."
(A.
Tafsir, 2008:76). Ini menggambarkan bahwa seorang
alim (guru) begitu sangat penting, bahkan
menjadi penentu atas sebuah kemajuan peradaban. Seorang ‘
alim
(Guru/Ustadz) betul-betul
diposisikan sebagai manusia yang sarat dengan nilai-nilai ‘keluhuran’
(full
values
)
dalam mengamalkan ilmunya, baik untuk ‘amaliah keseharianya,
ataupun diajarkan dan dididikkan ke peserta didiknya. Dengan konsepsi ini,
tentunya seorang guru tidak terlepas dari nilai-nilai ilahiah, - yang semuanya disandarkan kepada ajaran-ajaran kebenaran
al-Qur’an dan al-Sunnah.




Dalam Islam guru
mempunyai profesi yang amat mulia, karena
tema sentral yang selalu diusungnya
adalah soal pendidikan
. Nabi SAW sendiri sering disebut sebagai “Pendidik Kemanusiaan” (humanity educator). Menjadi seorang guru
bukan hanya karena memenuhi kualifikasi keilmuan dan akademik saja, tapi
seorang guru juga harus memiliki akhlak terpuji. Sebagaimana pernyataan Imam al-Ghozali,
bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas
dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya, dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam,
dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi murid–muridnya
. Demikianlah bentuk
pertanggungjawaban linier antara ilmu yang dimiliki seorang guru dengan amaliah
yang dijalankannya, tentu saja kelak akan dipertanggungjawabkan secara langsung
di hadapan yang Maha Agung (Allah SWT)
. Terkait dengan pertanggungjawaban di
akhirat kelak, Sufyan bin Uyainah Rahimahullah
berkata: Orang yang paling besar penyesalannya pada hari kiamat nanti ada tiga,
-yang salah satu diantara yang tiga itu adalah:




رَجُلٌ عَالِمٌ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعِلْمِهِ ، فَعَلَّمَ غَيْرَهُ فَانْتَفَعَ بِهِ


Seorang
yang alim (berilmu) tidak mendapat manfaat dengan ilmunya (tidak bisa
mengamalkannya), lalu ia mengajarkan (ilmunya) ke orang lain lalu (orang yang
diajari tersebut) bisa mengambil manfaatnya (ilmunya
) . (Shifatush
Shafwah: 2/235
,
385
. Hilyatul Auliya:
7/288
).



 



Dari pernyataan Sufyan bin Uyainah di atas menggambarkan tentang meruginya
seorang yang berilmu yang pada kesempatan luar biasa dia tidak mengamalkannya.
Dari kondisi itulah Allah SWT menegurnya, bahkan Allah SWT menunjukkan sikap
diri-Nya: “
Wahai orang-orang
yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.”
(Qs.
ash- Shaff [61], 2-3)




Pada ayat
yang lain (Qs. Al Mujadalah, 11), sebaliknya Allah SWT menjanjikan derajat yang
tinggi.



يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا
الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ 

“Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”



 



Meskipun
Allah SWT janjikan derajat yang tinggi kepada orang-orang yang berilmu, pada
bagian ayat yang terakhir Allah SWT memberikan penegasan tentang
pertanggungjawaban : “… dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Pada ayat
penutup tersebut mengisyaratkan tentang pengawasan Allah SWT terhadap setiap ‘alim (guru) atas sinergitas ilmu dan
amaliahnya.



 



Selanjutnya
secara formil, dalam rangka perwujudan profesionalitas seorang guru (‘alim) terdapat
ketentuan UU No. 14
tahun 2005,
disebutkan
bahwa guru
harus memiliki empat kompetensi; pedagogik, kepribadian, profesional dan
sosial. Dalam hal ini, -yang seringkali menjadi persoalan adalah tingkat
kematangan kepribadian seorang guru (kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia).
Meski demikian, idealitas konsep ini ‘sudah mulai disangsikan’, mengingat oknum guru seringkali melakukan
tindakan ‘Amoral’ yang cenderung sangat membahayakan (fisik/psikis) bagi
pengembangan kepribadian anak di sekolah. Berbagai fakta telah dibuktikan bahwa
oknum gurulah pelakunya, baik menyangkut kasus kekerasan terhadap peserta didik,
pelecehan secara psikis, bahkan secara fisik, dan lain sebagainya. Jika seperti
ini faktanya, tentu saja idealitas konsep tentang profil guru tidaklah cukup,
tetapi lebih dari itu adalah bagaimana lembaga pendidikan dan publik mempersiapkan
diri dengan kontrol dan penyadaran secara sistemik bahwa pendidikan anak tidak
hanya menjadi tanggungjawab utama guru dan wali, bahkan lebih dari itu adalah
tanggungjawab publik (masyarakat).




Mengemukanya kasus-kasus pelecehan yang seringkali menghiasi
pemberitaan di berbagai media (cetak/online)
bukan hanya
kesalahan ‘person’, tetapi kesalahan yang bersifat sistemik yang
melibatkan semua stakeholders. Semestinya semua pihak memberikan
pengawasan, mulai dari pemerintah (dinas pendidikan), yayasan yang menaungi
lembaga pendidikan, kepala sekolah, dewan guru, wali peserta didik, bahkan
setiap anggota masyarakat yang mungkin anaknya tidak disekolahkan di satuan
pendidikan tersebut pun memiliki tanggungjawab yang sama.




Islam dalam hal ini menawarkan sebuah konsep kemashlahatan bersama yang
dikuatkan dengan “watawashaw bil haq watawashaw bis shabr
. Konsep ini
bersifat universal, dalam artian bahwa perhatian, kepedulian dan tanggungjawab
untuk mencapai sebuah kemashlahatan tersebut tidak hanya menjadi tanggung para
alim (guru/ kepala sekolah, wali
siswa, siswa), umaro’, dll.. tetapi
menjadi tanggungjawab semua pihak (stakeholders), yaitu semua orang tanpa memandang
kelas, status dan jabatannya. Inilah yang disebut dengan
Trilogy +1 learner (baca: riset
Zaini, 2018)
. Mereka semua memiliki
hubungan keterkaitan yang erat dan teraplikasikan secara sinergis.  Jika
semua bentuk keterlibatan itu menjadi bagian yang sistemik dalam dunia
pendidikan

dan terintegrasi dengan nilai-nilai Tauhidullah
sebagai ruh dan spirit di dalamnya, tentu akan
mampu mendorong setiap stakeholders pendidikan pada sebuah pencapaian
tujuan pendidikan yang sebenarnya. Al hasil, guru-gurunya adalah guru teladan,
peserta didiknya bermoral, lembaga pendidikannya dapat dipercaya, serta
masyarakatnya secara penuh memberikan perhatian, sehingga tatanan yang ada
menjadi satu sistem pendidikan yang kuat, berkeadaban dan berkemajuan.



Haedar Nashir (Ketua
PP. Muhammadiyah) menyebutkan tentang d
elapan kompetensi guru berkemajuan: pertama, pemahaman guru terhadap visi
pendidikan nasional. Kedua, pemahaman
guru terhadap peta
jalan, konsep dasar, visi, dan filosofi pendidikan
Muhammadiyah. Ketiga,
kompetensi kualitas integritas, moral dan akhlak. Keempat, wawasan
Keislaman. Kelima, wawasan keilmuan. Keenam, wawasan inklusif. Ketujuh,
profesionalitas

dan k
edelapan kompetensi inovasi. Ke delapan konsep tentang kompetensi guru berkemajuan adalah menjadi satu sistem yang
menyeluruh tentang bagaimana guru memposisikan diri. Lebih-lebih pada bagian
yang ketiga tentang guru yang berintegritas moral dan akhlak. Konsep ini adalah
visi kenabian (prophetic) yang sarat
dengan kesempurnaan ‘pribadi’ (Hadits Nabi SAW) sehingga selalu membawa
kebaikan/rahmah (al Qur’an) di
manapun guru berada.




Guru terbaik
adalah dia yang selalu membawa kebermanfaatan (khoirunnas anfa’uhum linnas). Dipundaknya tidak hanya membawa
amanah kemanusiaan, tapi spesifik mengusung amanah nilai-nilai kenabian, yang
diharapkan selalu membawa pencerahan untuk lahirnya generasi berkemajuan.
Semoga para ‘guru’ di seluruh perguruan Muhammadiyah (khususnya) selalu
mencerahkan dan berkemajuan.
Wallahu A’lam...




Previous Post Next Post

Categorised Posts

نموذج الاتصال